Mudahnya akses internet secara mobile menyebabkan bisnis warnet seperti kehilangan arah. Warnet hanya berkembang di kota kecil sementara untuk kota besar tinggal menunggu mati.
“Kami akui di kota besar bisnis warnet mengalami penurunan. Banyak tempat yang mudah mengakses internet dengan wireless. Di Jakarta misalnya, pusat perbelanjaan, kampus, kantor dan banyak menyediakan layanan nirkabel ini. Tinggal bawa laptop, langsung terkoneksi,” kata Irwin Day, Ketua Asosiasi Warnet Indonesia (Awari) di Jakarta, kemarin.
Hal senada juga disampaikan salah satu pengusaha warnet besar Hariono Ginoto, Presiden Multiplus. “Saya rasa tinggal menunggu waktu saja bisnis warnet akan mati jika tidak ada perubahan siginifikan yang dilakukan pengusaha bisnis ini di kota besar,” papar Hariono.
Ia memaparkan, kebanyakan tempat perbelanjaan ataupun tempat makan telah menyediakan layanan internet gratis tanpa kabel. Tentu saja kebanyakan masyarakat akan memilih cara ini dibandingkan harus membayar ke warnet.
Tidak hanya itu, warnet juga seringkali dicap negatif oleh berbagai pihak. Tidak hanya dijadikan sebagai tempat anak muda untuk mengakses informasi berbahaya, tetapi juga maraknya penyebaran virus.
Menurut Irwin Day, sebanyak 85% pengguna warnet adalah anak muda ataupun pelajar. Hal itu disebabkan harga sewa warnet yang terjangkau bagi mereka, yaitu antara Rp2 ribu hingga Rp5 ribu per jam.
Namun adanya tantangan di bisnis warnet itu tidak mengurangi keoptimisan para pebisnisnya. “Sebagian besar orang masih butuh warnet. Di Indonesia masih banyak yang tidak membutuhkan akses internet terus menerus, serta tingkat kepemilikan laptop yang kurang, jadi pangsa warnet masih besar,” jelas Irwin.
Sementara meskipun penghasilan warnet di kota besar mengalami penurunan, namun bisnis ini terus berkembang di kota-kota kecil ataupun kota dengan akses wireless yang masih rendah.
“Di kota besar, warnet mengalami penurunan. Bahkan banyak pula yang stagnan. Namun ini bukan penggambaran warnet secara keseluruhan. Sewaktu saya berada di kota kecil, ada sekitar 50 hingga 80 warnet di sebuah kota. Misalnya saja Tuban, Nganjuk, Cilegon, Serang dan sebagainya,” kata Irwin.
“Jika ingin membuat warnet, sangat saya sarankan untuk memilih tempat yang berakses wireless masih rendah, karena ini masih lahan yang subur bagi pebisnis warnet,” tambahnya lagi.
Keberadaan smartphone dinilai Irwin juga bukan tantangan bagi warnet. “Pemilik smartphone saya rasa kebanyakan tidak pernah pergi ke warnet. Pangsa pasar bisnis ini kalangan menengah ke bawah. Tidak hanya itu, para pelajar adalah target kami. Pelajar yang memiliki smartphone di Indonesia tidak terlalu banyak,” papar Irwin.
Sedangkan sosialisasi pembatasan akses internet untuk situs tertentu ternyata meningkatkan jumlah pengguna warnet. “Kami menemukan bahwa warnet yang membatasi akses situs negatif ternyata meningkatkan pendapatan karena tingginya jumlah pengunjung. Siswa mendapat izin dari orangtua karena mereka merasa aman anaknya tidak melakukan hal buruk di warnet. Sebab itu, siswa tersebut dapat lebih sering pergi ke warnet,” ujarnya.