Trisno bermimpi, dengan menjadi tenaga kerja di luar negeri, penghidupannya bisa lebih baik ketimbang menjadi seorang guru. “Pada tahun 1991, di Blitar belum banyak yang menjadi TKI. Saat itu saya nekat saja, mencoba-coba,” ujar bapak tiga anak ini.
Berbekal uang Rp 1,5 juta hasil menjual sepeda motor, ia tidak kesulitan membiayai segala urusan administrasi di perusahaan penyalur TKI tersebut. Sembari menunggu pengiriman, selama dua bulan Trisno berada di penampungan TKI di Jakarta, tanpa ada pembekalan keterampilan. “Kerjanya cuma makan dan tidur,” katanya. Alhasil, ketika dikirim ke Arab Saudi, dia tidak bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Arab.
Tugas awal Trisno sebagai TKI di Arab Saudi adalah bekerja sebagai sopir di kantor gubernur Kota Tabuk. Karena ketidakmampuan berbahasa asing, ia suka dikerjai majikan dan teman-teman sopirnya yang berasal dari negara lain.
Lantaran ketidakcocokan dengan majikannya, Trisno diberhentikan dari pekerjaannya dan disuruh pulang ke Indonesia dengan biaya sendiri. Karena tidak punya uang, ia memilih tetap bertahan di Arab.
Beruntung ada seseorang yang menawarinya pekerjaan sebagai pegawai di toko perabot milik orang Sudan. Trisno digaji 1.350 real. Ia suka bekerja di tempat itu karena majikannya sangat baik. Jam kerjanya pasti antara pukul 07.00 hingga lepas maghrib. “Di toko perabot ini saya belajar menghafal dan menata barang, selain pengelolaan toko,” tutur lelaki kelahiran Blitar, 12 Agustus 1970 ini. Selepas magrib ia menyuplai produk-produk Indonesia di sebuah toko milik orang Thailand.
Sampai tahun 1999, Trisno masih bekerja dobel. Hasilnya, dia bisa mengantongi tabungan sebesar Rp 20 juta kala itu. “Tahun 1998, kurs dollar sedang tinggi,” ceritanya. Alhasil, tahun 1999, istrinya minta pulang ke Indonesia karena sudah saatnya anak pertamanya sekolah.
Sebagian uang hasil tabungannya dipakai untuk membeli sebidang tanah di kampung halaman, Kademangan, Blitar. “Kebetulan, saya mendapat tempat di dekat pasar. Saya memutuskan membuka toko sembako dengan nama Sari-Sari Swalayan,” katanya.
Kala itu, per hari, gerainya bisa menghasilkan omzet Rp 2 juta. Swalayan Trisno juga menjadi idola di Kademangan.
Setelah dua tahun usahanya berjalan, ada jaringan swalayan yang lebih besar dan sudah memiliki banyak cabang berencana membuka cabang baru di Kademangan. “Saya terpacu untuk memperbesar gerai.
Namun Trisno malah bersyukur dengan datangnya pesaing. ”Kalau tidak ada pesaing, mungkin saya tidak terpikir membuat cabang,” katanya. Terbukti, saat jaringan minimarket dengan sistem waralaba mulai masuk, bisnisnya ikut terdongkrak.
Sejak memulai bisnis ini pada tahun 2000 hingga sekarang, Trisno sudah memiliki tujuh gerai Sari-Sari Swalayan yang tersebar di daerah Blitar dan Tulungagung, Jawa Timur. “Satu gerai bisa menghasilkan omzet lebih dari Rp 10 juta per hari,” katanya. Alhasil, ketujuh swalayannya mampu mencatatkan omzet hingga Rp 35 miliar per tahun.
Trisno punya strategi, harga barang di minimarket waralaba sudah diatur oleh pusat. “Karena saya sudah tahu harga pasokannya dan bisa mengatur harga jual, saya leluasa memainkan harga. Dari situ, konsumen akan memilih yang lebih murah,” katanya.
Trisno bilang, saat ini, dia akan memaksimalkan ketujuh gerainya. Meski begitu, dia juga berencana untuk menjajal bidang usaha yang lain. “Mulai tahun ini, saya ingin berbisnis fesyen,” ujarnya.
Thanks for reading Mantan Sopir di Arab yang Jadi Bos Jaringan Swalayan
No comments:
Post a Comment