Chung Ju-Yung lahir November 1915 di Asan-Ri, Songjon-myun, Perfektur Tongchon, Kangwondo, di daerah pegunungan yang terletak di bagian utara Korea.
Masa itu Korea dikuasai Jepang.
Orang tuanya adalah petani yang hidup pas-pasan, walaupun mereka keturunan Chung Mong-Ju, penyebar ajaran Konfusius yang terkemuka menjelang akhir era kerajaan di Korea. Chung Mong-Ju juga seorang penyair besar.
Ju-Yung pernah belajar 3 tahun di sekolah kampung tempat kakeknya menjadi kepala sekolah. Di sini ia harus menghafal ajaran-ajaran Konfusius yang ternyata sangat mempengaruhi hidupnya kemudian dan menjadi falsafah perusahaannya.Untuk menghidupi keluarga, ayah dan ibu Ju-Yung bekerja dengan tekun sejak pagi buta hingga larut malam. Ju-Yung, seperti ayahnya adalah putra sulung. Ia diharapkan bertanggung jawab mengasuh ketujuh adiknya kelak, sama seperti dulu dilakukan ayahnya terhadap saudara-saudaranya sendiri. Jadi, sejak usia 10 tahun, pukul 04.00 subuh Ju-Yung sudah dibangunkan ayahnya. Dalam udara dingin, mereka berjalan 8 km untuk mencapai ladang dan bekerja di sana. Ayahnya bertekad menggemblengnya agar menjadi petani yang tangguh.
Selain membantu ayahnya, Ju-Yung mesti bersekolah. Sepulang dari sekolah, pelbagai pekerjaan sudah menunggunya di rumah. Meskipun demikian, berhasil juga ia menyelesaikan pendidikan SD pada tahun 1931, walaupun menurut Ju-Yung ia hampir tidak belajar apa-apa di bangku sekolah.
Saat bekerja di ladang, Ju-Yung sering bertanyatanya di dalam hati, “Apakah ia mau bertahan setiap hari membanting tulang dengan hasil yang tidak memadai? Apakah sebaiknya ia bekerja menjadi kuli bangunan saja yang hasilnya lebih besar?”
Kabur empat kali
Di waktu senggangnya yang sangat sempit, anak petani ini pergi ke kantor pemerintah setempat untuk membaca Koran Dong-a, satu-satunya koran yang bisa ditemukan di desanya. la terpukau oleh cerita bersambung Bumi yang dikarang oleh penulis populer Lee Kwang-Soo. Ju-Yung sangat mengagumi tokoh utama cerita tersebut, tanpa menyadari cerita itu cuma rekaan. Ia bertekad akan pergi ke Seoul untuk belajar ilmu hukum dan menjadi pengacara terkenal. Sejak itu, ia keranjingan membaca berbagai buku tentang hukum yang kelak banyak membantunya dalam meniti karier.
Berkat Dong-a pula, Chung Ju-Yung larut ke dalam imajinasi liar tentang masa depannya. Dia berangan-angan bisa membangun gedung pencakar langit, jalan bebas hambatan, dok, dan dermaga modern, serta membuat kapal tanker minyak, mobil, komputer, peralatan semikonduktor, dan seterusnya sehingga bisa menjadi “raja” di bidang industri. Angan-angan itu membuatnya semakin tidak tahan tinggal di kampung.
Di koran itu ia membaca bahwa sebuah pelabuhan sedang dibangun di Chungjin yang letaknya ratusan kilometer dari kampung mereka. Suatu hari, ia kabur dari rumahnya bersama seorang teman. Mereka bemiat mencari pekerjaan sebagai kuli bangunan di sana. Mereka singgah di Wonsan mencari kenalan yang diharapkan akan menolong, tetapi orang yang mereka cari justru tidak ditemukan. Mereka meneruskan perjalanan ke Chungjin. Malam hari mereka menginap di tepi jalan, kelaparan, kedinginan, dan digigiti nyamuk. Di perjalanan, mereka mendapat pekerjaan sebagai kuli pembuat jalan kereta api. Baru 2 bulan kemudian ayahnya berhasil menemukan kedua remaja ini dan membawanya pulang.
Ju-Yung ingat, di perjalanan ayahnya berniat membeli apel sebagai oleh-oleh buat neneknya, tetapi uangnya kurang. Terpaksa ia membeli apel jatohan yang harganya jauh lebih murah.
Tahun itu juga, Ju-Yung mencoba kabur lagi dengan beberapa teman, tetapi sempat terkejar ayahnya di perjalanan. Beberapa hari kemudian, di koran ia melihat iklan sekolah akunting. Ia mencuri uang ayahnya sebanyak 70 Won – hasil penjualan sapi – dan melarikan diri pada malam hari. Sekali ini ia menumpang kereta api ke Seoul. Sisa uang yang dibawanya cuma cukup untuk membayar sekolah, makanan, dan pondokan. Ketika itu 10 April 1932.
Di sekolah ini ia sangat giat belajar. Usai belajar di sekolah, ia mengurung diri di asrama dan membaca habis beberapa buku di antaranya Riwayat Napoleon, Biografi Abraham Lincoln, dan Sam Kok (Jiga Kerajaan). Tokoh-tokoh dalam buku itu memberinya semangat hidup dan mengilhaminya untuk mencapai kebesaran jiwa.
Sialnya, potongan iklan sekolah tersebut tercecer di rumah dan ditemukan ayahnya. Ayahnya datang dan memaksanya pulang, sementara Ju-Yung bersikeras tidak mau.
“Saya tidak mau bekerja kembali di ladang. Saya tidak mau menderita terus di sana,” ujarnya.
Untuk meluluhkan hatinya, sang Ayah menjawab, “Kamu tidak tahu ya, kalau seluruh keluarga sekarang berada di ambang kelaparan dan harus mengemis makanan hanya gara-gara kamu? Kamu senang ya, mereka terus seperti itu?” Ju-Yung terpaksa pulang, sebab sebagai putra sulung ia ikut bertanggung jawab memikul beban keluarga.
Dalam perjalanan pulang, mereka singgah di Istana Chang-kyong, bekas kediaman kaisar Korea terakhir. Tempat itu sudah dijadikan kebun binatang oleh penguasa Jepang. Uang masuknya 50 sen, mahal menurut ukuran kantung mereka. Demi penghematan, ayah Ju-Yung membeli satu karcis saja dan menyuruh Ju-Yung masuk, tapi Ju-Yung memaksa ayahnya ikut. Hal ini menggambarkan betapa sulitnya keuangan mereka.
Ketika kehidupan di kampungnya memburuk akibat bencana alam, Chung Ju-Yung dan temannya kabur untuk keempat kalinya. Meskipun setiba di Seoul temannya menolak melanjutkan pelarian, Ju-Yung tetap meneruskan perjalanan seorang diri ke kota pelabuhan Inchon dengan berbekal sedikit uang pinjaman dari temannya. Di Inchon dia bekerja serabutan, menjadi kuli bongkar muat kapal atau membawakan barang penumpang kapal. Hasilnya hanya cukup untuk makan. Jadi, ia mencoba mengadu untung di Seoul.
Di perjalanan, ia melewati desa Sosha yang sedang panen. Kemahirannya sebagai petani ternyata laris. Ia diminta membantu memanen dan hasil kerjanya selama lebih dari sebulan lumayan juga untuk bekal. Kemudian tibalah ia di Seoul dan bekerja sebagai salah seorang kuli yang membangun Universitas Korea sambil terus mencari pekerjaan tetap. Ia mendapat kesempatan magang di pabrik gula, tetapi imbalannya sangat kecil. Lagi pula, ia tidak bisa mendapat keterampilan teknis di sini. Untunglah, ia mendapat pekerjaan di toko hasil pertanian, Firma Bokheung. Dari pekerjaannya mengantarkan barang-barang dagangan ke pembeli, dia mendapat imbalan makan tiga kali sehari dan ½ karung beras setiap bulan. Inilah pekerjaan tetap pertama yang berhasil diraihnya. Saat itu tahun 1934, usianya kurang dari 20 tahun.
Cobaan silih berganti
Sebagai orang yang sifatnya hangat dan pekerja keras, Chung Ju-Yung berhasil memikat hati pelanggannya. Semua anak bosnya pemalas, sehingga Ju-Yung meraih kepercayaan bosnya untuk mengelola toko. Dengan hasil jerih payahnya, ia membeli tanah untuk keluarganya di Tongchon, Tak lama kemudian, ia kembali ke kampung dan dijodohkan dengan Byun Joong-Seok, perempuan muda sekampungnya. Walaupun mereka belum pernah bertatap muka sebelum pernikahan, sejak semula pernikahan mereka bahagia. Istrinya adalah jenis istri ideal menurut tradisi Timur: penuh perhatian terhadap suami, hemat, dan rajin mengurus rumah tangga.
Tidak lama kemudian Ju-Yung kembali ke Seoul. Dia menyewa sebuah rumah di sekitar Shintangdong yang menghadap ke jalan dan membuka toko hasil pertanian yang dinamai Firma Kyongil. Kondisi ekonominya pun menjadi sangat baik. Saat itu, ia baru berumur 22 tahun, berarti 4 tahun setelah kabur terakhir kalinya dari rumah.
Namun, baru 2 tahun, Jepang mengadakan agresi besar-besaran terhadap Tiongkok. Pemerintahan Jepang di Korea mengambil alih dan menguasai pengadaan bahan makanan selama masa perang. Toko Ju-Yung ditutup dan ia terpaksa mudik ke kampungnya.
Ju-Yung berpikir, selama ini ia selalu berhasii mengatasi kesulitan kalau berusaha sungguh-sungguh. Jadi, ia pun kembali ke Seoul dengan tekad menjajaki kemungkinan membuka usaha lain. Ia membuka bengkel perbaikan kendaraan bermotor karena usaha itu modalnya kecil tetapi cepat balik modal. Lagi pula, orang Jepang di Korea tidak mau terjun ke bidang usaha “kotor” seperti itu.
Pada 1 Februari 1940, dia mengambil alih manajemen bengkel reparasi mobil “A-Do Service”. Untuk itu, ia harus mengeluarkan semua uangnya dan masih meminjam dari pelanggan lamanya. Modal seluruhnya 5.000 Won. Namun, baru 5 hari, api melalap bengkel itu. Cobaan berat kembali menderanya.
Meski tanpa uang sepeser di tangan, Chung Ju-Yung tetap tidak berpaling sedikit pun dari tekadnya. Ia berutang lagi sebesar 3.000 Won pada pelanggan lamanya itu dan membuka lagi bengkel “A-Do Service” di tempat baru dengan mempekerjakan 50 karyawan. Karena usahanya tidak memiliki izin, dia selalu disatroni polisi Jepang di wilayah itu. Dengan cerdiknya, dia berhasil meluluhkan hati polisi yang lantas menyuruhnya memindahkan papan nama ke tempat yang agak tersembunyi sehingga polisi dapat berpura-pura tidak melihatnya. Sejak itu, bengkelnya bebas dari “sidak” dan berkembang pesat.
Ketika persaingan usaha bengkel mobil sangat ketat, Ju-Yung menerapkan strategi “pelayanan cepat” dengan bayaran lebih mahal. Menurut Ju-Yung, mutu pelayanan bengkel rata-rata sama. Kelebihan yang bisa ia berikan adalah pelayanan yang cepat dan efisien. Pemilik mobil masa itu umumnya sangat kaya. Mereka tidak keberatan keluar uang agak lebih banyak asal kendaraan mereka selesai ditangani dengan baik dalam waktu cepat. Akibatnya, ia memperoleh keuntungan lebih besar dari bengkel-bengkel lain.
Orientasi pada efisiensi ini kemudian diterapkan pada manajemen Hyundai dalam bersaing ketat di dunia industri.
Pada akhir 1941, imperialis Jepang memulai Perang Pasifik dan sebuah maklumat diterbitkan yang intinya mengharuskan semua perusahaan dirampingkan agar cocok menghadapi perang. Banyak perusahaan Korea harus merger dengan perusahaan Jepang. Pada awal 1943, “A-Do Service” milik Chung Ju-Yung dipaksa merger dengan perusahaan Jepang. Kerja kerasnya selama 3 tahun seakan-akan runtuh dalam sehari.
Chung Ju-Yung tidak mau menyerah pada keadaan. Ia membeli 30 truk dan menjalankan usaha transportasi. Truknya mengangkut bijih emas dari pertambangan ke pabrik pengolahan. Teman pemilik pertambangan selalu merongrong usaha Ju-Yung sehingga Mei 1945 ia terpaksa menjual usahanya di bawah harga kepada seorang pengusaha Jepang, yaitu cuma 50.000 Won. Namun, siapa sangka 3 bulan kemudian, 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat. Sebulan kemudian Ju-Yung sudah kembali ke Seoul untuk bergabung dengan sebuah usaha peleburan logam sambil menunggu kesempatan memulai usaha baru.
Meluaskan usaha
April 1946,bersama teman-temannya, Chung Ju-Yung membeli tanah di tengah kota Seoul. Dia memancangkan papan nama Hyundai Motor Industrial Co. (juga Hyundai Auto Repair Works) untuk pertama kalinya. Hyundai artinya modernistic, model baru.
Pada saat itu angkatan bersenjata AS yang ditempatkan di Korea dilengkapi dengan kendaraan dalam jumlah besar. Karena perusahaan Ju-Yung sangat berpengalaman dan memiliki keterampilan tinggi di bidang perbaikan mobil, ia segera mendapat kepercayaan dari para pelanggannya. Dalam waktu kurang dari setahun, bengkel reparasinya berkembang pesat menjadi bengkel besar yang mempekerjakan 100 orang.
Suatu hari Chung Ju-Yung pergi ke balai kota untuk meminta pinjaman bagi perusahaannya. Ia mendapat 1 juta Won. Namun, orang lain yang meminta pinjaman mendapat 10 juta Won. Ia jadi penasaran. Ia mendapat jawaban bahwa perusahaan konstruksi jauh lebih menarik para investor daripada usaha perbengkelan.
Begitu pulang, ia menancapkan papan bertuliskan Hyundai Civil Engineering Co. di sebelah papannya yang lama. Begitulah, 25 Mei 1947 itu ia mendirikan perusahaan konstruksi yang akan menjadi perusahaan raksasa. Ketika beberapa temannya mengingatkan untuk tidak melangkah ke arah yang tidak cukup dikuasainya, ia menimpali, “Saya pernah bekerja di sejumlah dok dan memiliki pengalaman lebih banyak ketimbang yang lain.” Dengan kata-kata itu, Chung Ju-Yung memulai bisnis barunya.
Berawal dengan hanya seorang insinyur dan beberapa teknisi, Hyundai Civil Engineering Co. mencatat rekor meraih total kontrak 15,3 juta Won pada tahun pertama. Dalam 2 tahun berikutnya perusahaan ini memantapkan reputasi sangat baik di antara 3.000 perusahaan konstruksi dalam negeri yang dimonopoli beberapa grup industri raksasa.
Tanggal 15 Agustus 1948, Republik Korea berdiri dengan Lee Syng-man sebagai presiden. Januari 1950, Chung Ju-Yung menggabungkan Hyundai Civil Engineering Co. dan Hyundai Motor Company menjadi Hyundai Engineering & Construction Co. Ltd. yang menjadi cikal bakal Hyundai Enterprises Group. Saat Chung Ju-Yung akan melakukan ekspansi berikutnya, Juni tahun itu pecahlah Perang Korea Korea Utara yang didukung kubu komunis bertarung dengan Korea Selatan yang didukung AS. Hyundai Construction yang baru berumur 6 bulan pun berantakan.
Chungju-Yung dan keluarganya mengungsi. Sebagai kepala keluarga, ia harus mengais-ngais dari bawah lagi. Saat mengantar koran-koran ke seorang politikus, ia mendapat kesempatan menyaksikan betapa pemimpin-pemimpin Republik Daehan (nama lain dari Korea) hidup bermewah-mewah padahal rakyat sedang sengsara sehingga ia merasa sangat sebal.
Lalu 15 September 1950, tentara AS mendarat di Inchon. Tentara negeri Paman Sam ini menggelar banyak proyek pembangunan. Seorang adik Chung Ju-Yung, yaitu Chung In-Yung, menjadi juru bahasa Letnan McAllister. McAllister membutuhkan perusahaan konstruksi yang bisa dipercaya dan meminta informasi dari juru bahasanya yang lantas merekomendasikan Chung Ju-Yung dengan Hyundai Construction Company-nya. Berkat pembangunan dok pelabuhan Inchon, Hyundai mendapat pengalaman elementer dalam meraih proyek internasional. Ini merupakan modal saat berkompetisi di masa mendatang di pasar internasional.
Tahun 1952, Jenderal Eisenhower, pahlawan Perang Dunia II yang kemudian menjadi Presiden AS, berkunjung ke Korea. Garnisun AS mempercayai Hyundai untuk membangun rumah tempat jenderal itu menginap. Syaratnya, WC-nya memakai kloset. Padahal, Chung Ju-Yung tidak tahu bagaimana rupanya water closet. Namun, semuanya beres juga hanya dalam waktu 15 hari.
Gencatan senjata ditandatangani antara Korea Utara dan Korea Selatan pada 27 Juli 1953. AS menarik sebagian tentaranya dari Korea. Setelah menderita 36 tahun di bawah aturan kolonial, Korea perlahan mendapat kemerdekaannya. Menghindari masuknya penjajah baru, Korea bertekad membangun perekonomian berdasarkan kekuatan dan sumber daya sendiri. Hyundai Construction mulai menerima tawaran dari dalam negeri.
Namun, saat itu inflasi menggila. Chung Ju-Yung menderita kerugian hebat dalam proyek pembangunan kembali Jembatan Golyong di atas Sungai Nak-dong. Harta yang dikumpulkannya selama ini habis tertelan. Menanggapi kerugian tersebut Ju-Yung yang tidak kenal menyerah berkata, “Ini bukan kerugian, tetapi cobaan baru.” Yang penting, ia berhasil mempertahankan reputasi bisnisnya walaupun ia memerlukan waktu 20 tahun untuk melunasi semua utang.
Kerugian itu menjadi pelajaran baginya dalam menghadapi inflasi. “Jangan bertangan kosong kalau bergulat dengan harimau. Jangan bertelanjang kaki menyeberangi sungai yang sedang banjir,” begitu ia mengutip kata-kata mutiara dari buku kuno.
Tahun 1957, ketika Hyundai memperbaiki Pelabuhan Inchon, perusahaan menghadapi kekurangan peralatan cukup besar. Chung Ju-Yung kemudian mengirim teknisi ke markas tentara AS untuk mencuri pandang peralatan bekas yang ada. Dari sana, dia membuat tiruannya untuk digunakan sendiri. Sejak itu, berbagai proyek di Korea ditangani Hyundai termasuk pembangunan Jembatan Sungai Han pada September 1957. Hyundai pun menjadi salah satu dari lima perusahaan konstruksi terkemuka di Korea.
Hyundai tidak ragu-ragu belajar dari AS dan luar negeri. Karyawannya sengaja belajar bahasa Inggris. Hyundai juga merupakan perusahaan konstruksi pertama di Korea yang merekrut para sarjana.
Belajar dari kegagalan
Setelah reformasi ekonomi digulirkan, menyusul pergantian pemerintahan yang menempatkan Park Chung-Hee sebagai pemimpin Korea, terbitlah harapan baru di bidang ekonomi. Penanaman modal asing digalakkan. Teknologi tinggi diimpor. Prioritas diberikan pada industri untuk impor. Korea ingin mengubah dirinya menjadi kekuatan industri modern yang bisa bersaing di pasar internasional. Chung Ju-Yung merupakan salah satu perintis kemajuan ini. Untuk membangun sistem industri yang independen, bahan mentah mesti disediakan oleh pasar dalam negeri.
Pada Juli 1962, pembangunan pabrik semen Danyang dimulai. Setiap Minggu malam, selama 2 tahun pembangunan, Ju-Yung datang ke lokasi proyek untuk melakukan supervisi. Saat ia datang, para pekerja tampak giat bekerja. Maklum di belakangnya mereka menjulukinya “macan buas”. Suatu kali, ia ketiduran di kereta api sehingga baru turun di stasiun berikutnya: Akibatnya, ia datang terlambat 30 menit. Dia berhasil menangkap basah pekerjanya yang bermalas-malasan dan tentu saja mereka kena marah.
Akhirnya, pabrik semen itu rampung 6 bulan lebih cepat dari rencana. Januari 1970, pabrik tersebut berubah menjadi Hyundai Cement Co. Ltd. Kehadirannya membuat Korea tidak perlu bergantung pada bahan konstruksi dari luar negeri. Semen “Cap Macan”-nya menguasai pasaran di Korea karena murah dan perusahaan itu menjadi salah satu perusahaan terbesar di Korea. Hyundai kini memegang peranan penting dalam mendirikan jaringan tenaga penggerak industri, mulai dari panas bumi sampai nuklir.
Kemajuan dalam industri Korea bukan tidak ada kesulitannya bagi para pengusaha. Mereka kekurangan dana, devisa dibatasi, dan pasar dalam negeri jenuh. Satu-satunya jalan keluar adalah ikut dalam persaingan internasional.
Hyundai Construction Co. berhasil meraih kepercayaan di luar negeri. Proyek pertamanya adalah pembangunan jalan raya Pattaninarathiwat di Thailand. Dalam tendernya, Hyundai mengalahkan 29 perusahaan pesaing dari 16 negara, termasuk Jerman, Jepang, dan Prancis. Namun, siapa sangka proyek yang dibiayai pemerintah Thailand itu berakhir dengan kegagalan. Hyundai mengalami kerugian besar sekali.
Soal kegagalan yang dialaminya, Ju-Yung mengatakan, “Kegagalan ini memberi kita pelajaran bahwa di luar negeri kita harus memecahkan masalah geologi dan meteorologi yang spesifik dulu sebelum mulai membangun. Selain itu, manusianya pun berbeda. Kita harus menyesuaikan diri dengan kondisi setempat. Pengalaman buruk harus diingat. Dengan mengingat kerugian dan kegagalan, kita bisa melakukan perbaikan. Ingat, mereka yang melupakan kesalahan masa lalu, akan gagal lagi, dan gagal lagi.”
Perusahaan otomotif terbesar di Korea
Belajar dari kerugian besar saat menggarap perbaikan Jembatan Golyong dan pembangunan jalan raya di Thailand, Hyundai berhasil meraup untung dari proyek jalan raya lain di Thailand. Perusahaan ini kemudian mengerjakan proyek raksasa, seperti proyek Alaska Storm, proyek markas militer, dan perumahan di Guam, proyek dam South Pacific Islands, dan proyek Cam Ramh Bay di Vietnam. Seluruh proyek itu memberi pelajaran berharga mengenai sumber daya manusia dan keuangan bagi Hyundai untuk mengerjakan jalan bebas hambatan Seoul – Pusan di tahun 1968.
Pekerjaan konstruksi jalan tol Seoul – Pusan dimulai 1 Februari 1968. Ju-Yung begitu bersemangat mengerjakan proyek ini, sampai-sampai dia menggotong tempat tidur ke lokasi proyek. Siang malam, tanpa kenal lelah, dia bekerja di sana. Pada masa itulah, untuk pertama kalinya ia menderita nyeri di tulang belakang dan tulang leher. Jalan raya sepanjang 428 km itu dibuka pada 27 Juni 1970.
Pada Desember 1966, 2 tahun sebelum pembangunan jalan bebas hambatan Seoul – Pusan dimulai, Hyundai Motor Company didirikan di Seoul. Sebelumnya, kendaraan bermotor di Korea banyak diimpor dari Jepang. Chung Ju-Yung punya alasan tersendiri dalam membangun industri kendaraan bermotor. “Kemakmuran suatu negara sangat erat kaitannya dengan perkembangan mobilitas dan fleksibilitasnya. Sejarah perkembangan sarana transportasi umat manusia – dari kuda tunggang sampai kapal buatan Inggris di zaman modern dan mobil Amerika abad ini – telah membuktikannya,” katanya.
Perusahaan dengan produksi lebih dari satu juta unit per tahun, ini pernah merupakan perusahaan otomotif terbesar di Korea. Yang menjadi targetnya adalah masuk dalam lima perusahaan otomotif terbesar di dunia pada 2010. Namun, dalam krisis moneter 1997 – 1998 kedudukan Grup Hyundai sempat merosot hebat.
Pada masa perintisannya, Chungju-Yung sempat menjalin kerja sama dengan pabrik mobil Amerika, Ford. Namun, Ford cuma berminat menjual suku cadang ke Korea sehingga kerja sama dihentikan. Chung Ju-Yung mengambil keputusan untuk mengandalkan kekuatan sendiri dalam mengembangkan pabrik otomotif. Kemudian, dia mempercayakan Hyundai Motors ke adiknya, Chung Se-Yung. Jalinan kerja sama pun berpindah ke Italia untuk mendapatkan teknologi mobil.
Model Pony pertama keluar dari jalur perakitan Hyundai Motors pada Januari 1976. Itulah mobil pertama yang pernah dibuat di Korea. Didukung oleh kondisi ekonomi yang membaik dan jaringan jalan bebas hambatan yang meluas, serta pasar yang sudah siap, produk domestik itu meraih sukses besar.
Berdasarkan model Pony, Hyundai memperbaharui produk mobilnya menjadi generasi baru. Desember 1984 mobil model Pony dibuat Hyundai Motor Company dengan produksi per tahun 500.000 unit.
Sejauh ini, Hyundai telah menghasilkan belasan model, beberapa di antaranya meraih sukses besar. Model Excel misalnya, meraih sukses di pasar AS. Pada Juli 1988, produksi. tahunan sedan model ini mencapai satu juta unit. Pada tahun 1992, model Scoupe menjadi satu dari sepuluh model teratas di AS. Pada tahun yang sama model Elantra mendapatkan penghargaan di Austria. Lalu, pada 1994 mobil sedan model Accent sukses dikembangkan Hyundai Motor Company. Pengembangan industrinya juga dilakukan dengan membeli KIA Motor Corporation pada Desember 1998.
Mudik bawa sapi
Dalam perjalanannya, Hyundai tidak hanya bergerak di industri konstruksi dan otomotif, melainkan juga industri elektronik industri berat, keuangan, jasa, serta industri lainnya. Meski berkembang, ada hal yang tetap bertahan di dalam Hyundai, yakni budaya Konfusius.
Kesederhanaan diserap sebagai salah satu ciri Hyundai yang menonjol. Chungju-Yung percaya, sebuah perusahaan yang dipimpin orang yang suka berfoya-foya tidak akan berkembang karena foya-foya mendorong dilakukannya korupsi. Sebuah negara dengan pemimpin yang kotpr dan korup juga tidak akan dapat berkembang. Maka, dia mengajak semua keluarga Hyundai untuk berhemat, misalnya setiap lembar kertas kantor harus digunakan kedua sisinya. Dia sendiri memberikan teladan soal ini.
Falsafah itu diterapkannya juga di rumah. “Saya sering mengingatkan anak-anak saya untuk rajin dan hemat.” Anak-anaknya selalu berpakaian dan menjalani hidup sederhana. Mereka pun mandiri.
Semasa masih di rumah orang tua, mereka sarapan bersama ayah mereka. Inilah saat bagi keluarganya untuk berkumpul dan berkomunikasi. la berangkat ke kantor bareng dengan saat anak-anaknya meninggalkan rumah.
Ada satu hal yang berlawanan dengan manajemen modern dalam perusahaannya. Chungju-Yung mempekerjakan adik-adik dan anak-anaknya dalam perusahaannya. Para penggantinya pun adiknya dan kemudian anaknya.
Dua putranya meninggal mendahului dia, begitupun seorang menantunya. Setelah ia meninggal pada tahun 2001, putranya yang keempat, Chung Mong-Heon salah seorang pemimpin senior Grup Hyundai, secara mengejutkan bunuh diri 4 Agustus 2003 dengan melompat dari jendela gedung bertingkat tinggi. (Hari berikutnya, seorang pengusaha besar di Indonesia, Marimutu Manimaren, melakukan hal yang sama di Jakarta, Red.). Diduga karena Hyundai terlibat skandal penyuapan terhadap pemerintah Korea Utara untuk mempercepat pertemuan Presiden Kim Dae-Yung dari Korsel dengan Kim Yong-Il dari Korut agar Kim Dae-Yung mendapat Hadiah Nobel Perdamaian.
Tahun 1998 Chung Ju-Yung memang “mudik” ke desanya yang sudah ditinggalkannya selama 66 tahun di kawasan yang kini menjadi Korea Utara. Pada tahun 1989, ia kembali berkunjung ke Korut. Ia membawa 1.000 sapi pilihan dalam dua tahap untuk disumbangkan. Katanya, sebagai pembayaran atas uang 70 Won yang ia curi dari ayahnya ketika ia berumur 17 tahun. Anda ingat, ia mengambil uang penjualan seekor sapi itu untuk biaya sekolah akunting? Ia masih melakukan kunjungan-kunjungan lain untuk mempromosikan rekonsialiasi kedua Korea.
Dihujani gelar Doktor Kehormatan
Sebagian orang mengritik Chung Ju-Yung sebagai orang yang kurang pendidikan. Maklum ia cuma lulusan SD. Namun, ia diundang lebih sering dari siapa pun untuk memberi ceramah di mana-mana. Walaupun ia sendiri kurang mendapat pendidikan formal, ia menganggap pendidikan penting sekali. “Korea tidak memiliki banyak sumber alam,” katanya. “Kita mengandalkan otak dan kemampuan teknis. Karena itu, pendidikan penting sekali.” Jadi, ia menyisihkan dana besar secara khusus untuk pendidikan. Bukan hanya untuk mendidik adik-adik, anak-anaknya, dan karyawannya, tetapi juga masyarakat luas.
Menurut Hyundai, karyawan adalah aset utama perusahaan sehingga harus diberi kesempatan mengembangkan bakat-bakatnya agar bisa menyumbangkan tenaga dan pikiran lebih baik. Promosi bagi karyawan terutama didasarkan atas sumbangan dan kemampuannya, bukan senioritas.
Tahun 1995, 8 tahun setelah mengundurkan diri sebagai orang pertama di Grup Hyundai, ia mendapat gelar doktor honoris causa untuk ilmu filsafat dari Universitas Korea. “Di masa muda, saya pemah mengusung-usung batu untuk mendirikan universitas ini,” katanya dalam upacara penyerahan gelar itu. Bahkan Universitas John Hopkins yang terkemuka di AS pun pada tahun itu memberinya gelar yang sama untuk kemanusiaan karena ia dianggap berhasil mengatasi pelbagai kesulitan besar dalam hidupnya dan menyumbang banyak bagi kemakmuran Korea. Ia memang dianggap tokoh yang banyak mempengaruhi sejarah negaranya, dari negara yang morat-marit menjadi salah satu “macan” kaliber dunia.
Sebelumnya, ia sudah mendapat gelar doktor honoris causa untuk ilmu ekonomi dari Georgetown University di AS. Ia juga menyandang gelar kehormatan yang sama dari pelbagai universitas lain.
Menurut Chung Ju-Yung, yang pernah merasakan sendiri kemiskinan, hal pertama yang harus diusahakan ialah agar semua orang cukup makan. Setelah itu, baru yang lainnya.
Chung Ju-Yung sendiri, setelah perusahaannya menjadi besar, tetap membanting tulang bagi Hyundai. Namun, bukan lagi untuk menumpuk harta pribadi, melainkan karena didorong oleh tujuan yang lebih luhur. “Kalau perusahaan maju, karyawan juga sejahtera dan kita membayar lebih banyak pajak yang bisa digunakan untuk masa depan negara dan masyarakat luas. Sebuah perusahaan kecil adalah milik pribadi seseorang. Ketika perusahaan menjadi besar, ia menjadi milik karyawannya dan ketika perusahaan itu berkembang lebih lanjut, ia menjadi milik masyarakat dan merupakan kekayaan negara.”
Hyundai juga menyumbang banyak untuk olahraga. Korea menjadi tuan rumah Olimpiade tidak lepas dari usaha Chung Ju-Yung sehingga Komite Olimpiade memberinya bintang kehormatan 1998.
Budaya kesetaraan
Chung Ju-Yung berpandangan, “Orang yang paling jujur dalam mengerjakan hal kecil, sering kali paling jujur pula dalam mengerjakan hal yang besar. Orang yang memiliki ketulusan dalam melakukan hal-hal kecil, sering kali akan tulus pula ketika melakukan sesuatu yang besar.” Karyawan yang tidak jujur bisa kehilangan “meja” malam itu pula. Hyundai juga berusaha merigembangkan budaya “kesetaraan”.
Menurut Chung Ju-Yung, para teknisi, pekerja, dan semua pegawai, bila semuanya merasa diperlakukan setara, sebagai sahabat, akan merasa ikut memiliki Hyundai. Tak seorang pun di Hyundai diharapkan merasa inferior dalam posisinya, dan tak seorang pun diperbolehkan sok superior terhadap yang lainnya.
Di Hyundai tidak ada tangga berjalan khusus untuk CEO sebagaimana di perusahaan lain. Jangan heran, bila sekali waktu Chung Ju-Yung yang baru melangkah masuk ke dalam lift yang penuh sesak, akan mundur kembali untuk memberi tempat kepada orang yang menyerobot karena didorong kebutuhan mendesak.
Di beberapa perusahaan internasional yang besar, lebih sulit melihat CEO-nya ketimbang presiden negara itu. Tapi di Hyundai, Chung Ju-Yung selalu terlihat di tengah-tengah pekerja untuk melakukan supervisi, berdiskusi dengan mereka, atau mendengar keluhan mereka. Ada begitu banyak foto yang dikutip tanpa sepengetahuannya yang menunjukkan orang lain berpakaian resmi sementara dia berkemeja biasa.
Ketika ada waktu luang, Ju-Yung akan bergabung dengan para pekerja, untuk adu panco, minum, atau mengobrol. Dia juga hadir di antara para pekerja dalam kegiatan seperti bermain bola voli dan gulat.
Chung Ju-Yung bersedia datang dan bernyanyi di depan para pekerjanya dalam setiap pesta untuk bergembira bersama mereka.
sumber: www.eciputra.com
Thanks for reading Jatuh Bangunnya Boss Hyundai
Halo, nama saya Sulis Susanti dari Indonesia, saya ingin mengambil kesempatan ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati karena banyak perusahaan pinjaman penipuan di sini di internet, tetapi mereka masih yang asli di perusahaan pinjaman palsu.
ReplyDeleteBeberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, aku jatuh korban penipuan oleh beberapa perusahaan pinjaman online, karena saya perlu sebuah perusahaan pinjaman yang jujur.
Aku hampir menyerah, tidak sampai saya mencari nasihat dari seorang teman yang kemudian mengarahkan saya untuk pemberi pinjaman pinjaman yang sangat handal JOY WILSON LOAN FIRM, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari 750 juta rupiah dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres pada tingkat bunga rendah dari 2%. Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah pinjaman yang saya diterapkan langsung ditransfer ke rekening bank saya tanpa penundaan atau kekecewaan, karena saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman dengan mudah tanpa stres.
Saya ingin Anda yakin dan percaya diri bahwa ini adalah asli karena saya memiliki semua bukti pengolahan pinjaman ini termasuk kartu id, dokumen perjanjian pinjaman dan semua kertas kerja. Saya percaya Ibu Joy Wilson sepenuh hati karena dia telah benar-benar membantu dalam hidup saya. Anda sangat beruntung memiliki kesempatan untuk membaca kesaksian ini hari ini. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan hubungi perusahaan melalui email: (joywilsonloanfirm@gmail.com)
Anda juga dapat menghubungi saya melalui email saya di (sulissusanti971@gmail.com) jika Anda merasa sulit atau ingin prosedur untuk memperoleh pinjaman